cerpen

SARINEM Pekik teman-teman sekelasku, sesaat setelah anak baru itu memperkenalkan dirinya. Kemudian tawa mereka pun meledak, membuat suasana kelas kami gaduh. Kini anak baru itu tampak kikuk, Ia hanya menundukkan kepala, sepertinya keberaniannya telah tersedot oleh sambutan calon teman-temannya yang terasa menusuk hati.
“Eh..loe semua tau gak? Sarinem itu nama pembokat gue, lho..!” teriak Dila, disambut dengan gelak tawa teman-teman yang lain. “Sudah ,diam!” Teriak pak Kusno, wali kelas

“SARINEM?” Pekik teman-teman sekelasku, sesaat setelah anak baru itu memperkenalkan dirinya. Kemudian tawa mereka pun meledak, membuat suasana kelas kami gaduh. Kini anak baru itu tampak kikuk, Ia hanya menundukkan kepala, sepertinya keberaniannya telah tersedot oleh sambutan calon teman-temannya yang terasa menusuk hati.
“Eh..loe semua tau gak? Sarinem itu nama pembokat gue, lho..!” teriak Dila, disambut dengan gelak tawa teman-teman yang lain. “Sudah ,diam!” Teriak pak Kusno, wali kelas kami yang membawa Sarinem, dan dalam sekejap kami membungkam, kini kelas kami menjadi sunyi. “Sarinem..sekarang kamu duduk di..” mata Pak Kusno kini sibuk mencari bangku kosong. Aku mulai garuk-garuk kepala tak karuan, karena hanya bangku di sampingku yang kosong, dan kini semua mata tertuju kepadaku, teman-temanku tersenyum meledek.” Akh..! aku tak sudi duduk dengan si Inem itu, gimana dengan pamorku di SMA ini? kalo teman sebangkuku adalah gadis udik seperti dia.”Gerutuku dalam hati.
“Yah..!kamu duduk di samping Mario.”Kata yang takku harapkan itu akhirnya terlontar dari bibir Pak Kusno. Dilanjutkan dengan Sarinem yang menuju bangku di sebelahku. Dan kini pelajaran pun dimulai.
Memang, hari itu seperti kiamat bagiku, karena harus duduk dengan gadis yang sama sekali tidak menarik, jauh dari standar cewek-cewek yang sering mengejarku. Namun sejarah hidupku di mulai dari detik bersama Sarinem.
Hari demi hari, mata ku sibuk memperhatikan gadis itu, mulai dari rambut panjang lurus yang selalu diikat satu atau kepang, dengan warna rambut hitam mengkilap, kulitnya yang sawo matang, roknya yang selalu di bawah lutut atau bahkan sampai betis, serta cara bicaranya yang lembut dan penuh santun. Gadis itu pendiam, misterius, namun anggun dan selalu menyisakan tanda tanya dalam diriku, untuk mengetahui dirinya.
Satu hal yang membuatku kagum dan mulai simpati pada teman sebangkuku itu, Ia begitu bersemangat mengikuti pelajaran sejarah. Ketika kami sekelas menahan kantuk melawan pelajaran yang kami sebut membosankan itu, Sarinem malah antusias untuk mendengarkan cerita-cerita dari pak Siraid guru sejarah kami. Bahkan, karena merasa pelajaran itu membosankan aku sempat tertidur saat pelajaran itu, tapi gadis itu bahkan sempat meneteskan air mata, Ia terharu biru mendengarkan cerita pak Soekarno yang dipenjarakan.
Sisi lain yang mampu ku tangkap dari gadis itu adalah kekagumannya pada pak Soekarno dan pemahamannya akan politik yang tinggi.
Setiap pagi ketika kami semua membicarakan tentang majalah terbaru, baju bermerek, lagu terbaru, penyanyi asing yang kami kagumi, dan semuanya yang serba terbaru dan up to date. Sarinem malah bergabung dengan kelompok genius di kelas kami, kemudian berbicara tentang politik, masalah besar yang di alami bangsa kita, dan tak jarang ku dengar terjadi perdebatan sengit di antara mereka karena persepsi yang berbeda.
“Ukh…kenapa aku malah merhatiin dia ya?” Ucapku mendengus sambil memukul pelan keningku. Sikapku memang semakin aneh, aku terus memperhatikan gadis itu, mengacuhkan semua gadis cantik yang berusaha merebut perhatianku.
“Mario..!!” Suara lengking Aldi yang berubah menjadi berang mengembalikanku ke alam nyata. “Ya, Nem…”Jawabku spontan, mengundang gelak tawa sohibku itu. Barulah otakku mulai menerjemahkan, bahwa sedari tadi yang ada dalam benakku hanya Sarinem. “Inem..? sejak kapan loe perhatian sama si Sarinem? Jangan-jangan..”Kata-kata Aldi Terpotong. “Mana mungkin gwe suka sama cewek yang penampilannya minus kayak dia, bisa turun pamor gwe.” Sanggahku. “Siapa yang bilang loe naksir Inem, tapi kayaknya loe beneran suka dia deh.”Aldi kemudian beranjak dari tempat duduknya, kemudian pergi. “Eh..Di, gwe kan belum selesai..!”

☼♥☼♥☼♥☼

Ku rasa ucapan Aldi itu memang benar, aku memang menyukai gadis itu. Tapi kenapa harus dia?
Hari ini sang mentari tampak begitu angkuh, pancaran sinarnya di siang bolong begitu menyengat, membuat kulitku terasa perih karena peluh yang terus bercucuran. Namun hatiku akan lebih perih jika aku tak melakukan sesuatu. Aku mulai melihat sekelilingku, tampak semua siswa sudah mulai meninggalkan kelas untuk pulang, aku pun bergegas mengikuti langkah cepat Sarinem dan menghampirinya.
“Sarinem..!” Panggilan itu menghentikan langkahnya.
“Ada apa?”
“Aku, mau ngajak kamu jalan.”
“Kemana?” Pertanyaan itu membuatku kikuk, karena aku melakukan hal ini hanya dengan spontanitas. Tapi syukurlah, aku ingat kalau Sarinem tak pernah menolak jika di ajak ke toko buku.”Ke..toko buku.” Ucapku dengan mata berbinar-binar, namun jantungku terasa mau copot.
“Boleh, Kapan?”
“Kalo sekarang, gimana?”
“Tapi..”
“Gak lama kok, Cuma sebentar. Aku janji deh bakalan nganter kamu sampe rumah tepat waktu.”
“Yaw udah, tapi aku telpon dulu ya? Biar orang rumah gak khawatir.”
Selang beberapa menit Sarinem sudah selesai, dan kami pun meluncur dengan Jazz hitam milikku menuju mall. Sesampai di sana, kami langsung menuju toko buku. Tanpa basa-basi lagi gadis itu langsung menuju tempat buku-buku sejarah dan politik, sementara aku hanya berlagak mencari-cari buku di bagian belakang tempat itu, demi memperhatikan Sarinem. Tapi taukah kamu? Aku saat ini berusaha mempertimbangkan rencana yang hendak aku lakukan, mungkin sebuah perubahan untuk Sarinem.
Cukup lama bergelut dengan buku-buku itu, kami pun memilih untuk keluar dari toko itu. “Nem..sebelum pulang kita mampir ke situ dulu yuk..” Aku mulai menjalankan rencana yang telah ku susun matang-matang. Tanpa menunggu Sarinem memberi jawabannya, aku meraih tangannya kemudian membawanya ke sana.
“Mbak..tolong ya, temen saya ini di make over. Mungkin model rambutnya, sekalian cariin baju yang cocok” Ucapku pada salah satu pelayan salon tempat langganan mama itu. “Apa?! Aku mau ngomong sama kamu sebentar, Yo” Ucap Sarinem dengan raut wajah yang mulai berubah.
“Apa maksud kamu mau ngerubah aku?!” Sarinem mulai geram
“Aku cuma pingin ngeliat kamu tampil lebih menarik, tidak ketinggalan mode.”
“apa kamu punya hak untuk ngelakuin semua ini?” Matanya mulai berkaca-kaca
“Tapi semua ini aku lakuin buat kamu kok, aku cinta sama kamu Nem. Aku gak bisa ngebiarin kamu direndahin sama temen-temen karena penampilan kamu. Aku ingin cewek yang aku cinta itu pantas buat aku, dan inilah satu-satunya jalan untuk ngewujutin semua itu.” Jelasku panjang lebar. Prak!! Tamparan gadis itu mendarat di pipi sebelah kananku, terasa sakit menerobos jantungku.
“Jadi, kamu pikir penampilanku gak pantas? Asal kamu tau, aku gak sama dengan kalian yang haus akan barang bermerek, berpenampilan sesuai trand. Aku gak nyangka Yo, ternyata kamu salah satu orang yang gak bisa nerima aku apa adanya. Kamu sama dengan yang lain.” Bulir-bulir air mata mulai membasahi pipi Sarinem.
“Nem..aku cuma..” kata-kata ku terpotong.
“Jangan pernah berpikir kamu bisa ngerubah aku!” Sarinem meninggalkanku dengan sesal yang menyelubungi hatiku.
Iya..aku ingat betul, sejak hari itu gadis itu tak pernah lagi bicara denganku. Bahkan Ia pun hijrah, dengan berpindah duduk di bangku paling belakang bersama Lika, salah satu anak genius kelas kami. Namun sikap itu mulai menyadarkan aku akan jiwa seorang Sarinem yang sebenarnya, yang tak pernah ku ketahui, mungkin karena aku buta atau memang tak mau tahu. Dia adalah salah satu permata bangsa yang peduli akan bangsanya, melalu kecintaannya dengan sejarah, terhadap pak Soekarno, kepeduliannya akan politik, dan jiwa besarnya yang mampu bertahan hidup sebagai anak muda tanpa harus menjadi korban trand. Sarinem, dialah yang membuatku merasa miskin dan malu pernah sangat bangga dengan barang bermerek keluaran asing.


☼♥☼♥☼♥☼
Aku menutup laptop yang sedari tadi menemaniku menjelajahi kenangan semasa SMA bersama sosok yang terus melekat di setiap sel otakku. Gadis itu membuatku rindu, sekaligus menyisakan tanda tanya akan sebuah kepastian yang belum sempat aku terima. Tiga tahun yang lalu, aku melakukan kesalahan terbesar, membuatnya menghindar dariku. Sarinem..sampai saat ini Ia tetap ada di hatiku, bahkan tamparannya dahulu masih menyisakan pilu di hatiku. Membuat otakku berpacu untuk menyelesaikan kuliah kedokteranku di negeri Paman Sam ini, dan terbang ke negeriku untuk meraih cinta sang permata bangsa.

Comments

Popular posts from this blog

Garden coffe

for my friends

Kotaraja Forum